Powered By Blogger

Selasa, 27 Desember 2011


Bali International Park (BIP), Perlukah?
Sejak dulu Bali memang memiliki daya tarik dan menjadi daerah tujuan wisata. Tidak hanya di Indonesia, bahkan sudah terkenal di mancanegara. Sebagai daerah tujuan wisata, tentu Bali harus ditunjang oleh sarana dan prasarana. Gelombang pembangunan pun mulai pesat. Konsekuensinya terjadi penumpukan pembangunan fasilitas pariwisata di daerah-daerah tertentu saja. Bali selatan misalnya. Sangat jelas terlihat ketimpangan pembangunan antara Bali selatan dengan Bali utara. Namun, pemerintah daerah tidak bisa berbuat banyak untuk meratakan pembangunan tersebut. Di Bali selatan, ada saja investor yang masih mengincar lahan-lahan potensial untuk dikembangakn menjadi sarana pariwisata. Hotel contohnya. Ini sangat memprihatinkan bagi kelangsungan daerah Bali selatan. Bahkan pada tahun 2010 Kemendbudpar berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa wilayah Bali selatan sudah mengalami over capacity sebanyak 9.800 kamar. Saat itu Jro Wacik menyarankan moratorium pembangunan akomodasi di kawasan Bali selatan. Bahkan hal itu juga didukung oleh Gubernur Bali, Made Mangku Pastika. Tetapi ide tersebut seperti ditelan bumi ketika ada wacana pembangunan megaproyek Bali International Park (BIP).


ISL (Dianggap) Ilegal, Pemain tak Boleh Perkuat Tim Nasional
Sepak bola merupakan salah satu olah raga yang digemari oleh masyarakat Indonesia. Masyarakat tentu berharap jika timnas Indonesia dapat menunjukkan prestasinya di kancah Internasional. Jika menginginkan hal itu tentu harus didukung oleh kompetisi dan pemain yang berkualitas. PSSI tentu bertanggung jawab dalam mengelola kompetisi yang berkualitas dan membina pemain dari usia dini. Namun, sekarang ini terjadi kekisruhan di dalam sepak bola Indonesia. Saat ini ada 2 kompetisi yang berjalan di Indonesia. Indonesian Super League (ISL) yang dianggap kompetisi tidak resmi oleh PSSI dan Indonesian Premier League (IPL) yang merupakan kompetisi resmi PSSI. Karena tidak diakui PSSI, ISL dianggap ilegal. Pemain yang berlaga di ISL pun tidak diijinkan memperkuat timnas Indonesia. Mengejutkan sekaligus prihatin mendengar bahwa pemain yang memperkuat klub-klub yang berada dalam kompetisi yang digelar PT. Liga Indonesia (PT. Liga yang menyelenggarakan kompetisi ISL) dilarang memperkuat timnas Indonesia. Apalagi kondisi timnas kita saat ini yang miskin prestasi. Tentu hal itu sangat tidak tepat.
***

Mitos: “Larangan Menaruh Togog Celuluk”
Tentu setiap daerah di Bali memiliki berbagai macam mitos yang diyakini oleh masyarakatnya hingga sekarang. Di suatu banjar, tepatnya di Kedewatan Ubud terdapat suatu mitos yang hingga saat ini masih sangat dipercayai penduduk sekitar.  Ini terjadi beberapa tahun yang lalu ketika pemugaran Pura Dalem Swargan di Kedewatan. Di depan candi paling luar (Pemedal jaba sisi) diletakkan sepasang patung atau Togog Celuluk yang sedang menginjak tengkorak. Hal itu sebelumnya dimaksudkan hanya sebagai hiasan saja. Namun, beberapa dari warga merasakan aura aneh yang terdapat di patung atau togog tersebut.
Warga tersebut meyakini aura yang dirasakan tersebut bukan aura biasa. Sehingga mereka melaporkan hal tersebut ke perangkat banjar. Akhirnya perangkat banjar meminta pendapat para Sulinggih atau Pemangku. Setelah dilakukan upacara untuk memohon petunjuk maka diperoleh suatu petunjuk bahwa di depan candi itu tidak boleh diletakkan patung atau togog yang berwujud  celuluk atau sebagainya. Hal itu dikarenakan pura dalem tersebut merupakan Pura Dalem Swargan (Sorga) yang tentunya secara logis tidak akan ada makhluk seperti  celuluk atau sebagainya. Jika tetap dibiarkan maka pura akan menjadi leteh. Maka dari itu, patung tersebut dipindahkan ke Pura Dalem Dasar yang terletak di Kedewatan Anyar yang jaraknya kira-kira 300 meter ke selatan dari Pura Dalem Swargan tersebut.
Hingga saat ini mitos tersebut sangat diyakini oleh masyarakat di sana. Masyarakat tidak lagi menaruh patung atau togog yang tidak berhubungan dengan Swargan (Sorga).

Mitos:  Gua Raksasa di Gunung Lebah Tjampuhan
Bali merupakan pulau yang memiliki kebudayaan yang sangat beragam. Dalam kehidupannya, masyarakat Bali tidak dapat dilepaskan dari berbagai mitos. Seperti halnya di daerah lain, di daerah Ubud juga terdapat mitos yang hingga saat ini masih diyakini oleh beberapa masyarakat di sana. Diceritakan dahulu terdapat dua orang suami istri yang terobsesi dengan kekayaan. Keluarga ini dikaruniai seorang putri yang sangat mereka cintai. Suatu hari keluarga ini ingin menjadi orang yang sangat kaya tanpa kekurangan apapun. Apa yang mereka inginkan agar dapat terpenuhi. Namun, mereka memilih untuk melakukannya dengan cara yang cepat tanpa usaha kerja keras. Suatu hari mereka melakukan ritual agar bisa kaya dengan cepat. Untuk memperoleh hal tersebut mereka berdua “Mesesangi”(berjanji) akan menghaturkan “Guling Buntut” jika mereka bisa menjadi kaya. Yang dimaksud “Guling Buntut” adalah manusia yang diguling sebagai persembahan dalam sesajen. Akhirnya mereka menjadi kaya sesuai yang mereka inginkan. Tapi janji akan menghaturkan “Guling Buntut” tersebut terus menghantui keluarga tersebut. Jika tidak dibayarkan secepatnya, maka anak perempuan mereka satu-satunya yang akan diambil sebagai tumbal.
Suatu hari mereka mempunyai rencana. Anak mereka mempunyai teman sebaya. Mereka berencana akan mengorbankan teman dari anaknya tersebut sebagai tumbal “Guling Buntut” sebagai sesaji. Suatu malam mereka meminta anak tersebut untuk menginap di rumahnya. Ia diminta tidur bersama anaknya. Dalam rencana itu mereka akan mengambil teman anaknya itu saat tertidur pulas. Mereka sengaja meredupkan lampu templek untuk menyamarkan penglihatan anak itu. Suami istri itu berpikir sejenak untuk menghindari keliru dalam mengambil tumbal. Mereka takut yang diambil justru anak mereka sendiri mengingat anaknya dan temannya itu tidur bersama. Untuk menghindari hal itu ia memberikan banyak perhiasan emas kepada anaknya sendiri. Jadi mereka akan mengambil anak yang tidak ada perhiasannya. Namun yang terjadi anaknya sendiri meminjamkan perhiasannya tersebut kepada temannya itu saat di kamar. Suami istri itu tidak tahu kejadian tersebut. Mereka mengambil anak yang tidak dilengkapi perhiasan dan menjadikannya “Guling Buntut”  sebagai tumbal padahal itu adalah anak mereka sendiri.
Dalam ritual tersebut, yang menghaturkan “Guling Buntut” harus bersama menikmati sesajen itu. Mereka pun ikut menikmatinya. Mereka baru sadar itu anak mereka ketika sampai dirumahnya. Teman anaknya tersebut mengetahuinya dan melaporkan kepada warga sekitar. Suami istri itu pun diusir oleh warga masyarakat. Mereka tidak diterima dimanapun. Akhirnya mereka menetap di sebuah gua di bawah Pura Gunung Lebah, Campuhan Ubud. Karena pernah memakan daging manusia, mereka ketagihan dan menjadi sosok raksasa. Setiap ada upacara di Pura Gunung Lebah tersebut, mereka menculik penari Rejang (tarian sakral yang ditarikan oleh gadis yang masih suci) yang berada di barisan paling belakang. Tidak hanya itu mereka juga mengambil orang yang berjalan paling belakang saat ngiring. Para korban tersebut dimasukkan ke dalam batu besar berlubang atau dalam istilah Balinya Lesung untuk ditumbuk lalu dimakan.
Warga mulai menyadari hal tersebut karena setiap odalan (upacara adat) terus terjadi hal tersebut berulang-ulang. Akhirnya warga mempunyai rencana. Setiap penari Rejang dilengkapi bungkusan beras dalam plastik yang ujungnya disobek. Ketika raksasa itu menculik penari  Rejang, beras akan berceceran menuju tempat raksasa itu membawanya. Warga mengikuti ceceran beras tersebut dan menemukan gua tempat persembunyian pasangan raksasa itu. Gua tersebut akhirnya dibakar oleh warga dan raksasa itu mati terpanggang. Hingga saat ini masih terdapat bekas gua yang diyakini sebagai tempat tinggal raksasa itu dan lesung tempat menumbuk korbannya juga masih ada. Warga sekitar tidak ada yang berani menginjak batu tersebut yang dipercaya sebagai lesung milik raksasa.