Mitos:
Gua Raksasa di Gunung Lebah Tjampuhan
Bali
merupakan pulau yang memiliki kebudayaan yang sangat beragam. Dalam kehidupannya,
masyarakat Bali tidak dapat dilepaskan dari berbagai mitos. Seperti halnya di
daerah lain, di daerah Ubud juga terdapat mitos yang hingga saat ini masih
diyakini oleh beberapa masyarakat di sana. Diceritakan dahulu terdapat dua
orang suami istri yang terobsesi dengan kekayaan. Keluarga ini dikaruniai
seorang putri yang sangat mereka cintai. Suatu hari keluarga ini ingin menjadi
orang yang sangat kaya tanpa kekurangan apapun. Apa yang mereka inginkan agar
dapat terpenuhi. Namun, mereka memilih untuk melakukannya dengan cara yang cepat
tanpa usaha kerja keras. Suatu hari mereka melakukan ritual agar bisa kaya
dengan cepat. Untuk memperoleh hal tersebut mereka berdua “Mesesangi”(berjanji) akan menghaturkan “Guling Buntut” jika mereka bisa menjadi kaya. Yang dimaksud “Guling Buntut” adalah manusia yang
diguling sebagai persembahan dalam sesajen. Akhirnya mereka menjadi kaya sesuai
yang mereka inginkan. Tapi janji akan menghaturkan “Guling Buntut” tersebut terus menghantui keluarga tersebut. Jika
tidak dibayarkan secepatnya, maka anak perempuan mereka satu-satunya yang akan
diambil sebagai tumbal.
Suatu
hari mereka mempunyai rencana. Anak mereka mempunyai teman sebaya. Mereka
berencana akan mengorbankan teman dari anaknya tersebut sebagai tumbal “Guling Buntut” sebagai sesaji. Suatu
malam mereka meminta anak tersebut untuk menginap di rumahnya. Ia diminta tidur
bersama anaknya. Dalam rencana itu mereka akan mengambil teman anaknya itu saat
tertidur pulas. Mereka sengaja meredupkan lampu templek untuk menyamarkan
penglihatan anak itu. Suami istri itu berpikir sejenak untuk menghindari keliru
dalam mengambil tumbal. Mereka takut yang diambil justru anak mereka sendiri
mengingat anaknya dan temannya itu tidur bersama. Untuk menghindari hal itu ia
memberikan banyak perhiasan emas kepada anaknya sendiri. Jadi mereka akan
mengambil anak yang tidak ada perhiasannya. Namun yang terjadi anaknya sendiri
meminjamkan perhiasannya tersebut kepada temannya itu saat di kamar. Suami
istri itu tidak tahu kejadian tersebut. Mereka mengambil anak yang tidak
dilengkapi perhiasan dan menjadikannya “Guling
Buntut” sebagai tumbal padahal itu
adalah anak mereka sendiri.
Dalam
ritual tersebut, yang menghaturkan “Guling
Buntut” harus bersama menikmati sesajen itu. Mereka pun ikut menikmatinya.
Mereka baru sadar itu anak mereka ketika sampai dirumahnya. Teman anaknya
tersebut mengetahuinya dan melaporkan kepada warga sekitar. Suami istri itu pun
diusir oleh warga masyarakat. Mereka tidak diterima dimanapun. Akhirnya mereka
menetap di sebuah gua di bawah Pura Gunung Lebah, Campuhan Ubud. Karena pernah
memakan daging manusia, mereka ketagihan dan menjadi sosok raksasa. Setiap ada
upacara di Pura Gunung Lebah tersebut, mereka menculik penari Rejang (tarian sakral yang ditarikan
oleh gadis yang masih suci) yang berada di barisan paling belakang. Tidak hanya
itu mereka juga mengambil orang yang berjalan paling belakang saat ngiring. Para korban tersebut dimasukkan
ke dalam batu besar berlubang atau dalam istilah Balinya Lesung untuk ditumbuk lalu dimakan.
Warga
mulai menyadari hal tersebut karena setiap odalan
(upacara adat) terus terjadi hal tersebut berulang-ulang. Akhirnya warga
mempunyai rencana. Setiap penari Rejang dilengkapi bungkusan beras dalam plastik yang ujungnya disobek. Ketika
raksasa itu menculik penari
Rejang, beras akan
berceceran menuju tempat raksasa itu membawanya. Warga mengikuti ceceran beras
tersebut dan menemukan gua tempat persembunyian pasangan raksasa itu. Gua
tersebut akhirnya dibakar oleh warga dan raksasa itu mati terpanggang. Hingga
saat ini masih terdapat bekas gua yang diyakini sebagai tempat tinggal raksasa
itu dan lesung tempat menumbuk
korbannya juga masih ada. Warga sekitar tidak ada yang berani menginjak batu
tersebut yang dipercaya sebagai lesung milik raksasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar